Dalam beragama atau Pengakuan adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan, Allah, God, Yahweh, Elohim, yang disertai ketundukan itu, merupakan fitrah (naluri) yang dimiliki oleh setiap manusia. Kendati demikian, manusia tetap memerlukan adanya pemberi peringatan agar tidak menyeleweng dari fitrahnya, mereka adalah para nabi dan rasul.
Perasaan tunduk kepada Yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, yang kemudian berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain, itulah unsur dasar al-din (agama). Al-din (agama) adalah aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Berbagai agama telah lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu Ilahi) maupun yang terdapat dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi tersebut adalah: (i) menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati; (ii) menunjukkan manusia kepada kebahagiaan hakiki; dan (iii) mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bersama.
Dari hakikat dan fungsi agama seperti yang disebutkan itu, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, telah memiliki strategi, metoda dan teknik pelaksanaannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang Pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru bermotivasikan keagamaan”.
Kembali kepada Fitrah Beragama
Dalam kesempatan ini, kami mengajak pembaca untuk fitrah beragama, yaitu toleransi yang harus ditegakkan sebagai keyakinan pokok (akidah) dalam beragama.
Itu maknanya, pengamalan toleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi dan kelompok yang selalu dihabitualisasikan dalam wujud interaksi sosial. Toleran maknanya, bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan pendirian, pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain-lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Toleransi/toleran dalam pengertian seperti itu terkadang menjadi sesuatu yang sangat berat bagi pribadi-pribadi yang belum menyadarinya. Padahal perkara tersebut bukan mengakibatkan kerugian pribadi, bahkan sebaliknya akan membawa makna besar dalam kehidupan bersama dalam segala bidang, apalagi dalam domain kehidupan beragama. Toleran dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya, dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.
Dalam kaitan ini Tuhan telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, dalam Q.S. 42 A. 13: “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan kepada Nuh, dan apa yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah diwahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah dalam urusan agama.”
Pesan lainnya terkandung dalam Q.S. 3 A. 103: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada agama Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antarumat beragama maupun sesama umat beragama. Pesan dari langit ini menghendaki umat manusia itu memeluk dan menegakkan agama, karena Tuhan sang Pencipta alam semesta ini telah menciptakan agama-agama untuk umat manusia, kehendak-Nya hanyalah jangan berpecah-belah dalam beragama maupun atas nama agama.
Tegakkanlah agama dan jangan berpecah belah dalam beragama, merupakan standar normatif Ilahiyah, sebagai patokan baku untuk pembimbingan perilaku umat manusia dalam beragama. Standar yang bersifat universalistik ini bermakna ruang lingkupnya berlaku di mana pun dan kapan pun. Yakni umat beragama dalam berinteraksi antaragama wajib mengutamakan standar universal ini.
Jangan Berpecah
Tegakkan agama dan jangan berpecah belah dalam beragama. Perintah ini juga merupakan standar yang bersifat partikularistik, yang ruang lingkupnya berlaku bagi kelompok pemeluk agama tertentu di tempat mereka berada. Dalam menjalankan agama hendaknya menjauhi perpecahan sesama agama, terlebih perpecahan itu dibungkus oleh orientasi motivasional maupun orientasi nilai keagamaan.
Tindakan manusia beragama itu selalu memiliki orientasi, berarti selalu diarahkan kepada tujuan. Ada dua elemen penting dalam orientasi tindakan manusia termasuk tindakan manusia dalam beragama yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai. Orientasi motivasional adalah yang berhubungan dengan keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan, atau dalam makna lain, motivasi untuk memperbesar kepuasan jangka panjang dan jangka pendek.
Sedangkan elemen lainnya adalah orientasi nilai. Orientasi ini menunjuk kepada standar-standar normatif yang mempengaruhi dan mengendalikan pilihan-pilihan individu terhadap tujuan yang dicapai dan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan itu.
Walhasil, kebebasan individu dalam bertindak, dibatasi oleh standar-standar normatif yang ada dalam masyarakat, baik yang bersifat Ilahiyah maupun budaya. Segala norma-norma itu bukan berarti mengeliminir kebebasan manusia dalam beragama, justru menawarkan berbagai alternatif dalam bertindak, bermakna juga bahwa manusia itu dalam beragama mempunyai kebebasan penuh yang dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang selainnya.
Itu berarti bahwa setiap umat beragama dalam interaksi sosialnya mempunyai kebebasan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeluknya. Interaksi seperti ini sudah barang pasti berkonsekuensi, minimal saling singgung. Sebab strategi, metoda dan teknik interaksi masing-masing agama dan para pemeluknya bahkan dalam kalangan suatu agama dan para pemeluknya, sangat mungkin terjadi perbedaan baik secara prinsip maupun nonprinsip.
Ini bermakna, dapat kita lihat bahwa individu-individu itu dalam beragama memungkinkan dapat menggunakan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan dan sebaliknya juga dapat menggunakannya sebagai pencerai-beraian, yang mengakibatkan timbulnya konflik.
Toleransi sebagai Nilai dan Norma
Toleransi dalam pengertian yang telah disampaikan, yang merupakan keyakinan pokok (akidah) dalam beragama, dapat kita jadikan sebagai nilai dan norma. Kita katakan sebagai nilai karena toleransi merupakan gambaran mengenai apa yang kita inginkan, yang pantas, yang berharga, yang dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Dan nilai (toleransi) akan sangat mempengaruhi kebudayaan dan masyarakat. Demikian juga toleransi, dapat kita jadikan suatu norma, yaitu suatu patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu. Norma memungkinkan seseorang menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya itu akan dinilai orang lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Karena toleransi sudah kita jadikan nilai dan norma, dan juga menyangkut sifat dan sikap untuk menghargai pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan, dan lain-lain yang berbeda bahkan bertentangan dengan pendirian sendiri, maka sifat dan sikap sebagai nilai dan norma itu mesti disosialisasikan. Maknanya, ialah proses memelajari norma, nilai, peran, dan semua persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasi yang efektif dalam kehidupan sosial.
Sifat dan sikap toleran ini perlu disosialisasikan, agar setiap individu mampu mengamalkan dalam kehidupan nyata di masyarakat luas. Dalam lingkungan keluarga, kehidupan yang toleran harus disosialisasikan sejak dini terhadap anggota keluarga (anak-anak). Dan inilah yang menjadi sosialisasi dasar dalam kehidupan umat manusia, yang dari padanya dikembangkan sosialisasi lebih lanjut sebagai follow-up.
Hidup beragama yang toleran sekaligus menjadi sikap dasar dalam kehidupan sosial masyarakat, yang selalu disosialisasikan dalam tingkat rumah tangga, merupakan sosialisasi primer, dan sosialisasi sekunder terjadi sesudah sosialisasi primer itu terjadi. Dan sesungguhnya sosialisasi primer itu merupakan dasar bagi sosialisasi sekunder. Jika yang berperan dalam sosialisasi primer adalah seluruh keluarga dalam rumah tangga, maka yang berperan dalam sosialisasi sekunder adalah luar rumah tangga, yang dalam kehidupan sekarang ini adalah arena pembelajaran sekolah.
Di sekolah kita mendapatkan bekal pengetahuan, kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk dapat hidup dalam kehidupan sosial yang lebih luas, mengenal negara, undang-undang, aturan agama dan kehidupan antarbangsa dan lain-lain. Setelah pembelajaran formal di bangku sekolah selesai, sosialisasi sekunder masih terus dilakukan dalam kehidupan yang lebih luas, kita harus menyesuaikan diri dengan berbagai norma dalam kelompok kerja maupun masyarakat.
Ternyata sosialisasi terhadap sikap hidup toleran dalam berbagai bidang kehidupan (agama dan lain-lain), baik primer maupun sekunder, berlangsung seumur hidup karena kehidupan kita umat manusia dari hari ke hari adalah kehidupan yang ditandai oleh penambahan pengetahuan, dan untuk itu kita harus terus belajar, dan berusaha mencari sesuatu yang baru dalam kehidupan berpengetahuan. Itulah maknanya bahwa sosialisasi terhadap kehidupan toleran itu merupakan proses yang tak henti-hentinya, dan terus mencari dan mendapatkan yang lebih baik. Terus berlangsung seumur hidup umat manusia.
Toleran dan Prinsip Hidup
Berinteraksi dengan jiwa toleran dalam setiap bentuk aktivitas, tidak harus membuang prinsip hidup (beragama) yang kita yakini. Kehidupan yang toleran justru akan menguatkan prinsip hidup (keagamaan) yang kita yakini. Segalanya menjadi jelas dan tegas tatkala kita meletakkan sikap mengerti dan memahami terhadap apapun yang nyata berbeda dengan prinsip yang kita yakini. Kita bebas dengan keyakinan kita, sedangkan pihak yang berbeda (yang memusuhi sekalipun) kita bebaskan terhadap sikap dan keyakinannya.
Dialog disertai deklarasi tegas dan sikap toleran telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam Q.S. 109: “Wahai orang yang berbeda prinsip (yang menentang). Aku tidak akan mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianmu. Dan kamu juga tidak harus mengabdi kepada apa yang menjadi pengabdianku. Dan sekali-kali aku tidak akan menjadi pengabdi pengabdianmu. Juga kamu tidak mungkin mengabdi di pengabdianku. Agamamu untukmu. Dan agamaku untukku.”
Prinsip yang telah dibela oleh Rasulullah sangat jelas, dengan sentuhan deklarasi yang tegas. Sedangkan prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berbeda (penentangnya) juga dijelaskan dengan tegas. Namun diiringi dengan sikap toleransi yang sangat tinggi: Kamu pada prinsipmu dan aku pada prinsipku. Yakni sepakat untuk berbeda.
Sikap tegas penuh toleran, tanpa meninggalkan prinsip seperti itu dilaksanakan pada saat masyarakat lingkungannya tampil dengan budaya represif, yang sistem sosialnya dalam proses tidak menghendaki perubahan, bertahan dengan struktur yang ada (morfostatis). Sedangkan Nabi Muhammad saw sedang memulai pembentukan kelompok (formation group) menuju perubahan. Ternyata sikap toleran sangat menentukan proses terjadinya bentuk serta perubahan atau perkembangan suatu sistem maupun struktural atau penyederhanaannya (morfogenesis).
Sikap toleran membuahkan kemampuan yang sangat signifikan dalam menetapkan pilihan yang terbaik. Mampu mendengar berbagai ungkapan dan menyaring yang terbaik daripada semua itu.
Sikap toleran juga melahirkan kemampuan mengubah perilaku individu (self correction) terhadap pola yang selama itu dilakukan, yang tak berdaya mengubah masyarakat tradisional, tertutup dan represif, sehingga tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai. Toleran, tidak menciptakan individu yang wangkeng, yang tidak mau mengubah perilakunya, walau tujuannya tidak tercapai. Secara apologi bersikap dan mengatakan bahwa: Tujuan itu tidak tercapai karena belum waktunya, atau nasibnya memang demikian dan tidak mau mengubah diri.
Sikap toleran, mampu menemukan jalan keluar dan problem solving yang pantas dan mengangkat martabat dan harga diri dalam berbagai bidang kehidupan.
Dengan sikap toleran, Rasulullah bermigrasi (hijrah) meninggalkan kehidupan dan tatanan sosial tradisional represif yang belum mampu diubahnya menuju kepada tempat dan kelompok masyarakat yang telah dipersiapkannya untuk dapat menerima perubahan dan bahkan menjadikannya sebagai agen perubahan di zamannya serta zaman selanjutnya. Bersama kelompoknya kemudian berinteraksi membaur ke dalam berbagai kelompok dalam masyarakat yang majemuk baik ras maupun agama. Interaksi yang sedemikian itu mampu menciptakan kehidupan yang saling membutuhkan dan saling memerlukan, dalam bentuknya yang saling bertanggung jawab dalam membela masyarakatnya.
Para Rasul Allah sebagai Rujukan Bertoleransi
Para rasul Allah telah memberi teladan dan menunjukkan serta mengajarkan bersikap toleran. Darinya tumbuh berbagai norma yang mencerminkan sikap toleran. Nabi Muhammad saw mencontohkan, setibanya ke tempat tujuan migrasi (Yatsrib/Madinah), yang ditempuh pertama kali adalah terciptanya brotherhood dan penyatuan diri antara kelompok migran dengan berbagai kelompok penghuni asal (pribumi).
Para rasul Allah telah memberi teladan dan menunjukkan serta mengajarkan bersikap toleran. Darinya tumbuh berbagai norma yang mencerminkan sikap toleran. Nabi Muhammad saw mencontohkan, setibanya ke tempat tujuan migrasi (Yatsrib/Madinah), yang ditempuh pertama kali adalah terciptanya brotherhood dan penyatuan diri antara kelompok migran dengan berbagai kelompok penghuni asal (pribumi).
Kemudian menciptakan sistem sosial baru, sebagai wahana berbagai kegiatan dari berbagai orang dan kelompok yang saling berhubungan secara konstan. Sistem baru itu dilegalisir dalam bentuk norma timbal-balik untuk menciptakan keseimbangan yang memadai antara berbagai kelompok yang terlibat dalam hubungan sosial di tempat yang baru (Yatsrib). Norma itu terpatri dalam Sohifah al Madaniyyah (lebih kita kenal dengan Piagam Madinah).
Piagam Madinah di samping bersifat norma hubungan timbal balik yang memadai bagi masyarakat berbilang kaum, juga merupakan perjanjian, undang-undang politik, tatanan bernegara yang mengandung aturan-aturan kehidupan bersama dalam sistem sosial besar berbentuk negara, bagi segenap warganya yang berbilang kaum: Muslim, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain di sebuah negara yang bernama Madinah.
Di tengah kemajemukan masyarakat (negara Madinah), Nabi Muhammad SAW sebagai pimpinan negara, berusaha sedaya-upaya untuk meletakkan dan mendasarkan filosofi misi yang diembannya dalam membangun tatanan hidup bersama yang mencakup seluruh golongan, sehingga penduduk negara dapat hidup berdampingan secara damai dan sejahtera.
Prinsip-prinsip umum Piagam Madinah:
1. Monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa, Tauhid.
2. Persatuan dan kesatuan; penegasan bahwa seluruh warga Madinah adalah satu umat, perlindungannya adalah satu, seluruh warga menanggung pembiayaan negara.
3. Persamaan keadilan bagi seluruh warga negara, semua berstatus sama di hadapan hukum, penegakan keadilan bagi semua.
4. Kebebasan beragama, semua pemeluk agama bebas menjalankan agamanya, sebagaimana Muslim menjalankan agamanya.
5. Pembelaan negara, merupakan kewajiban bersama.
6. Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan yang baik.
7. Supremasi aturan dan ajaran Ilahi.
8. Politik damai dan proteksi internal.
1. Monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa, Tauhid.
2. Persatuan dan kesatuan; penegasan bahwa seluruh warga Madinah adalah satu umat, perlindungannya adalah satu, seluruh warga menanggung pembiayaan negara.
3. Persamaan keadilan bagi seluruh warga negara, semua berstatus sama di hadapan hukum, penegakan keadilan bagi semua.
4. Kebebasan beragama, semua pemeluk agama bebas menjalankan agamanya, sebagaimana Muslim menjalankan agamanya.
5. Pembelaan negara, merupakan kewajiban bersama.
6. Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan yang baik.
7. Supremasi aturan dan ajaran Ilahi.
8. Politik damai dan proteksi internal.
Piagam Madinah merupakan manifestasi sikap toleran, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, keadilan, dan kedamaian, yang permanen adanya. Masyarakat modern dan sehat manapun pasti mengakui hakikat maknawinya secara jujur. Toleransi dan perdamaian yang terkandung di dalamnya sangat kental, masyarakat kontemporer patut mengadopsinya, demi terciptanya dunia yang penuh toleransi dan perdamaian.
Berkaitan dengan Q.S. 42 ayat 13 yang telah disampaikan terdahulu, Allah menyebut nama-nama para utusannya yang bertugas membimbing umat dengan syariat agama-Nya, yaitu Nuh AS, Muhammad SAW, Ibrahim AS., Musa AS, dan Isa Almasih. Dari para utusan Allah inilah agama samawi berkembang sampai hari ini dan kelak kemudian. Mereka memiliki sifat-sifat toleran dan kesabaran yang prima yang perlu diteladani terus-menerus.
Pertama, Nabi Nuh AS. Beliau adalah bapak leluhur umat manusia setelah sirnanya hampir seluruh manusia di muka bumi. Dijuluki sebagai Pahlawan Air Bah. Nuh disifati sebagai seorang yang benar, benar bersumber dari keteguhan imannya, dekat kepada Tuhannya, orang tidak bercela di antara orang-orang sezamannya yang telah terbenam dalam taraf hidup moral yang sangat rendah dan hina, dan kepada orang-orang semacam inilah Nuh AS menyampaikan dakwah tentang kebenaran abadi.
Dalam dakwahnya Nuh AS tergolong tidak berhasil membawa mereka kepada iman, namun dalam menata kembali umat manusia dan peradabannya setelah kehancurannya dari libasan air bah, Nuh menjadi pahlawan umat manusia dan lingkungannya. Membangun bahtera yang tatkala air bah pasang, beberapa pasang putranya dan berbagai pasang binatang dan tumbuh-tumbuhan dapat diselamatkan, yang selanjutnya menjadi pelanjut generasi pengisi bumi babak selanjutnya.
Nabi Nuh AS juga disebut sebagai Abu al-Basyar setelah Adam AS, berumur 950 tahun, hampir satu milenium. Setelah air bah (kehancuran makhluk di bumi) Nabi Nuh AS, ditengarai membangun kembali bumi ini dan menatanya dengan bertani, sampai wafatnya. Nabi Nuh AS, terkenal dengan doanya yang diabadikan dalam Al-Qur’an : S. 71 A. 26,27 , 28.
Nuh berkata: “Ya, Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir: Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.
Kedua, Nabi Ibrahim, adalah leluhur bangsa Yahudi, Arab, dan bangsa-bangsa lain. Imannya sangat teguh, terkenal sebagai Khalilullah (sahabat Allah), keturunannya melalui Ismail dan Ishaq. Hidupnya dijadikan teladan iman terhadap Tuhan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Namanya dalam bahasa Ibrani Avram (Abram) dan selanjutnya berganti menjadi Abraham dan Ibrahim (bahasa Arab) yang berarti bapak sejumlah besar bangsa. Ibrahiem berakidah monoteis, mentauhidkan Allah bertentangan dengan politeisme nenek moyangnya. Iman Ibrahiem kepada Allah totalitas dalam bentuk ketaatan dan kesiapannya melakukan apapun perintah Tuhan.
Ibrahim tergolong orang yang banyak harta milik, pemberani, sangat kasih sayang terhadap keluarga, berhasil dalam membina dan menuntun anak-anak dan keturunannya, supaya tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan, dengan menerapkan kebenaran dan keadilan. Ibrahim suka menjamu tamu dan siapa pun orang yang tidak beliau kenal, bersifat murah hati dan tanpa pamrih. Sebagai Nabi Akbar yang menerima perjanjian Tuhan, Ibrahim memainkan peranan yang unik baik dalam tradisi Yahudi dan Islam.
Ketiga, Nabi Musa, disebut sebagai pemimpin ulung pemberi hukum, perantara (Allah) membawa orang-orang Israel keluar dari Mesir. Ia membina mereka menjadi suatu umat untuk mengabdi kepada Allah, dan membawa mereka sampai ke perbatasan negeri yang dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka. Musa bukan berasal dari keturunan yang dapat dicatat dengan jelas oleh sejarah, hanya putra seorang pembantu di istana Firaun.
Musa adalah salah seorang putra yang terselamat dari maklumat Firaun (yang memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Ibrani), sang ibu menyelamatkan Musa dengan berbagai cara yang dimiliki sebagai penghuni pinggiran sungai. Yang dalam ceriteranya putri (istri) Firaun memperanakkannya (mengadopsinya), yang dalam kesehariaannya justru diasuh oleh sang ibu di dalam istana Firaun, sampai menjadi dewasa tanpa diketahui oleh siapa pun.
Musa dibesarkan di istana, karenanya dia mengikuti pendidikan intelektual meliputi sastra, tulisan, dan tata administrasi kerajaan Firaun, namun karena dia dalam asuhan ibu kandungnya, maka budaya Ibrani tetap dimilikinya. Dari pemahamannya yang mendalam akan bangsanya, tumbuh solidaritas yang tinggi atas bangsanya yang ditindas oleh Firaun dalam bentuk kerja paksa. Ia membunuh mandor Mesir yang dia saksikan menganiaya seorang pekerja Ibrani.
Karenanya, ia lari dari istana setelah diketahui oleh Firaun, lari ke arah timur menyeberangi perbatasan menuju Median. Di sana Musa berjumpa dua orang putri penggembala, putri seorang pemimpin Median bernama Syueb (Rehuel), dan Musa menikah dengan salah satu gadis penggembala tersebut. Dari tokoh Median inilah Musa mendapat pengetahuan tentang Sinai dan Median yang dalam perjalanannya membawa makna besar baginya.
Sebagai pemimpin umatnya, Musa tidak hanya diperlengkapi secara teknis dengan pertumbuhannya dan pendidikannya di Mesir. Tapi dalam hal yang jauh lebih asasi, ia juga dibina menjadi pemimpin ulung berkat kesetiaannya mengikuti Allah dengan landasan iman. Orang seperti itulah yang dibangkitkan Allah untuk memimpin umatnya dari perhambaan dan penindasan. Dalam perjalanannya Musa menghadapi tingkah pola serangan Firaun dan juga kaumnya yang selalu menentang dan mencemoohkannya.
Namun Musa tak pernah putus asa menghadapi bangsa yang tegar tengkuk dan pencemooh itu. Musa memiliki iman dan ketegaran baja kepada Allah, dan sangat bergiat bekerja atas nama Allah. Musa juga diceritakan sebagai orang yang berkemampuan jurnalistik, menulis berbagai dokumen ringkas tentang hukum Allah, kitab perjanjian, risalah perjalanan di padang gurun dan lain-lain, Q.S. 87 A. 18-19 mengabadikan kemampuan jurnalistik Musa itu.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa.
Keempat, Nabi Isa Almasih, diimani oleh kaum muslimin sebagai salah seorang nabi besar utusan Allah, yang dilukiskan di dalam Q.S.6la.6: Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “ Ini adalah sihir yang nyata. “
Bagi umat Islam mengimani para nabi Allah adalah merupakan rukun iman yang asasi. Keimanan terhadap para nabi Allah tidak dibeda-bedakan dalam inti kandungan ajaran Islam.
Dalam Alkitab dijelaskan bahwa topik pokok ajaran Yesus Kristus adalah total baru dan revolusioner dan pada dasarnya ajarannya bukan hanya baru tapi juga unik. Selanjutnya dijelaskan bahwa ajaran Nabi Isa bin Maryam bukanlah seperti filsafat, teologi, atau etika. Disimpulkan, bahwa ajarannya berbeda sekali dari ajaran setiap orang sebelum dan sesudah dia.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menyatakan bahwa ajaran Yesus dapat diklasifikasikan dengan judul-judul sebagai berikut: etika, metafisika dan teologi, sosial, penyelamatan dan eskatologi (ajaran teologi mengenai akhir zaman, seperti hari kiamat, kebangkitan segala manusia dan sorga). Dan seluruh ajarannya menyatu pada dirinya sendiri. Inti ajarannya ialah pengumuman mengenai dirinya sebagai juruselamat dunia.
Dan yang kelima adalah Rasul Allah Muhammad saw. Ia adalah penerus ajaran para nabi Allah sebelumnya, nabi akhir dan penutup para nabi dan para rasul Allah, membenarkan keberadaan para nabi terdahulu dengan segala ajarannya, yang dideklarasikan sebagai pemegang kitab Allah, yang penganutnya disebut sebagai ahlul kitab. Ajarannya mempunyai ciri:
1. Ajaran Tauhid, tentang keesaan Allah, yang harus diyakini setiap pemeluknya.
2. Bersifat universal, yakni Islam untuk semua umat manusia tanpa batasan teritorial.
3. Menghapus sistem perbudakan.
4. Persamaan hak bagi umat manusia.
5. Ajaran moral, sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pergaulan umat manusia di dunia.
6. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dengan wujudnya berbagai syareat yang mampu menciptakan tolong menolong antar sesama manusia. Dan sikap adil dalam segala kehidupan, dan lain-lain kebaikan yang dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
1. Ajaran Tauhid, tentang keesaan Allah, yang harus diyakini setiap pemeluknya.
2. Bersifat universal, yakni Islam untuk semua umat manusia tanpa batasan teritorial.
3. Menghapus sistem perbudakan.
4. Persamaan hak bagi umat manusia.
5. Ajaran moral, sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pergaulan umat manusia di dunia.
6. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dengan wujudnya berbagai syareat yang mampu menciptakan tolong menolong antar sesama manusia. Dan sikap adil dalam segala kehidupan, dan lain-lain kebaikan yang dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Perkembangan Agama Dunia Kini dan Mendatang
Apa yang telah diuraikan itu barulah agama-agama yang bersifat samawi, tentunya masih banyak agama-agama ardli, sama-sama berkembang pesat sepesat agama samawi. Bahkan dalam kehidupan umat manusia di masa kini masih sangat banyak mereka yang tidak memeluk agama apapun, termasuk umat manusia yang meletakkan dirinya pada pilihan sebagai ateis.
Jika umat manusia dengan agamanya, kemudian mengembangkannya, itu sudah menjadi fitrah manusia. Sebab semua orang beragama merasa wajib untuk mengembangkan dan menyampaikan keyakinannya kepada siapapun di dunia ini. Di sinilah letaknya sebuah toleransi, siapapun umat beragama bebas untuk mendakwahkan agamanya dan siapapun manusia bebas menerima maupun menolak ajakan itu. Rambu-rambu untuk itu dalam tatanan hidup antarbangsa dan agama telah dimiliki oleh umat dan bangsa sedunia. Sikap toleran akan dapat meminimalkan segala konsekuensi negatif penyebaran agama.
Sesuatu yang menjadi sangat penting dan terpenting adalah tertanamnya suatu sikap bagi seluruh umat beragama, bahwa tujuan dasar beragama adalah tercapainya kebahagiaan (kedamaian) dunia maupun dalam kehidupan setelah dunia, kiranya sesuatu yang sangat esensial ini tidak ternodai oleh perselisihan justru atas nama kesejahteraan dunia akhirat tersebut, hal yang sangat ironis jika hal itu justru yang dikedepankan dalam sikap hidup umat beragama. Sekali lagi sikap toleransi yang dapat mengatasinya.
Kita coba membaca perkembangan umat manusia dengan keagamaannya dewasa ini. Dari data yang dapat dikumpulkan dari “Ensiklopedi Britannica” tahun 2001, tercatat bahwa penduduk dunia yang tersebar di dalam 238 negara di lima benua dan Oceania berjumlah 6.128.512.000 orang.
Dari sejumlah ini, pemeluk Agama Kristen (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan, Independen, Kristen Marginal dan Kristen yang tidak berafiliasi) berjumlah 2.019.052.000 orang = 32,9% yang tersebar di seluruh negara dunia (238 negara).
Muslim, 1.207.148.000 orang (belum termasuk mereka yang pernah menjadi penduduk di bawah pengawasan komunis Uni Soviet Rusia) = 19,7%, terdiri dari 83% Sunni dan 16 % Syi’i serta 1% lain-lain, tersebar di 204 negara di seluruh dunia.
Hindu, 819.689.000 = 13,4 %, tersebar di 114 negara di dunia. Tidak beragama 771.345.000 orang, tersebar di 236 negara dunia = 12,6%. Agama Rakyat Cina, 387.167.000 orang = 6,3 %, tersebar di 99 negara dunia. Buddhists, 361.985.000 orang = 5,9% yang tersebar di 126 negara. Atheist, 150.252.000 orang = 2,5% tersebar di 161 negara. Sedangkan Jews (Yahudi) 14.484.000 orang = 0,2%, tersebar di 134 negara.
Dari catatan perkembangan agama-agama dunia yang ada pada abad ini, agama samawi menduduki tempat teratas, baik Kristen maupun Islam, sedangkan Yahudi persentasenya di bawah 1 %, dan agama-agama ardli menduduki posisi 3 besar dunia. Namun orang-orang yang tidak beragama dan atheis justru lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan agama Hindu = 15,1 %.
Inilah gambaran perkembangan agama-agama dunia, dengan dipaparkannya gambaran seperti ini, kiranya kita dapat mengerti apa yang harus dilakukan umat beragama, khususnya kita selaku Muslim.
Posisi Umat Islam Bangsa Indonesia
Hampir seluruh Muslim di Asia Tenggara membentuk bagian dari wilayah budaya Melayu. Komunitas Muslim di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia, tersebar di Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam, jumlahnya tidak kurang dari 206.584.000 orang = 17,11 % dari jumlah umat Islam sedunia. Benang merah yang menghubungkan praktik dan keyakinan keagamaan mereka di wilayah ini adalah ungkapan budaya yang dimiliki bersama termasuk penggunaan bahasa Indonesia maupun Melayu yang dapat dipergunakan sebagai bahasa komunikasi keagamaan.
Dalam menegakkan kehidupan keagamaan yang toleran dan damai di muka bumi ini peranan Muslim Asia dimotori oleh Indonesia, mestinya dapat lebih mewarnai Dunia Islam kontemporer. Berbagai syarat untuk itu ada dalam lingkungan wilayah ini baik berupa bahasa, budaya dan adat kebiasaan yang dimiliki oleh Muslim di wilayah ini.
Pengembangan dan pembentukan diri bagi Muslim di wilayah ini tidak lagi harus tergantung pada wilayah tempat asal mula munculnya agama Islam (Timur Tengah). Kemampuan untuk berkembang membentuk diri untuk tampil sebagai umat beragama yang toleran dapat ditunjang oleh kemampuan Muslim di wilayah ini, sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia yang semakin maju yang dapat diakses oleh setiap Muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Untuk menuju ke arah itu, kita sebagai masyarakat/kelompok sosial ini harus menanamkan visi pada diri kita masing-masing, kiranya dengan aktivitas yang selama ini kita tekuni sebagai masyarakat terus bergerak ke arah kehidupan beragama atau kegiatan lainnya selalu mengedepankan sikap toleran. Ini maknanya, lingkungan kita ini harus sangup menjadi wahana pengkaderan bangsa dan umat yang orientasinya adalah terciptanya sikap toleran dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Kita harus yakin bahwa penanaman sikap toleran ini akan tercapai dengan seksama hanya melalui pendidikan, dalam artian pembiasaan yang tiada hentinya, sampai sikap itu menjadi darah daging yang tak terpisahkan (akidah). Dari tempat yang kita wujudkan bersama ini pasti akan tumbuh kader-kader bangsa dan umat, yang akan membawa kehidupan bangsa dan seluruh warga serantau Asia Tenggara ini menjadi bangsa warga dunia pelopor kehidupan penuh toleran dan damai. Berbahagialah umat yang mencita-citakan kehidupan yang dicita-citakan oleh seluruh warga dunia, yaitu kehidupan yang toleran dan damai.
Meluruskan makna toleransi beragama
Meluruskan makna toleransi beragama
Manusia diciptakan Allah Subhanahu wata’ala bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan di antara manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS. Al Hujurat; 13).
Saling Menghormati Sesama
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.
Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya.
Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.
Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau akan mewariskannya kepadaku.” (HR. Abu Dawud). Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para Sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi?” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?” (HR. Imam Bukhari). Sesungguhnya Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam berhutang makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan pakian besi kepadanya.” (HR. Imam Bukhari).
Tidak Ada Paksaan dalam Beragama
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.
Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi.
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus; 99-100). Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi; 29)
Persoalan keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang per orang, masing-masing individu, sebab Allah Subhanahu wata’ala sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah Subhanahu wata’ala diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman
Dalam sebuah Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu, sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama, yaitu Surah Al-Baqarah: 256:”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah; 256)
Dalam Aqidah Tidak Ada Toleransi
Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam.
Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam.
Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam tatkala diajak ber-toleransi dalam masalah aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang-orang kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan prinsip dasar Aqidah Islamiyah itu. Allah Ta’ala berfirman: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun; 1-6).
Dalam setiap melaksanakan sholat, sebenarnya ummat Islam telah diajarkan untuk selalu berpegang teguh terhadap aqidah Islamiyah dan jangan sampai keyakinan ummat Islam itu sedikit pun dirasuki oleh virus syirik, yaitu dengan membaca: “Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada yang menyekutui-Nya. Oleh karena itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang Islam.”
Kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang sah harus selalu diyakini oleh kaum Muslimin dengan kadar keimanan yang teguh. Sama sekali tidak dibenarkan bahwa masing-masing agama memiliki kebenaran yang relatif, sebagaimana yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dan telah banyak merasuki jiwa generasi muda Islam. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala telah menandaskan: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran; 85).
Siapa yang menginginkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, tidak ada jalan kecuali beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan beribadah kepada-Nya. Kemuliaan itu tidak bisa dicapai dengan menyembah selain Allah Ta’ala. Kemuliaan hanya milik Allah semata. “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Fatir; 10).
Seputar Natalan dan Doa Lintas Agama
Kekuatan musuh-musuh Islam terus bergerak aktif untuk melemahkan aqidah dan keyakinan generasi muda Islam. Melalui propagandanya yang dikemas dengan sangat rapi, mereka berusaha menciptakan keraguan dalam keyakinan ummat Islam. Batasan-batasan aqidah Islamiyah yang sedari awal telah begitu jelas dan nyata, antara yang hitam dan putih, antara yang haq dan batil, antara keimanan dan kekufuran, direduksi oleh mereka menjadi abu-abu dan remeng-remeng (tidak jelas).
Kekuatan musuh-musuh Islam terus bergerak aktif untuk melemahkan aqidah dan keyakinan generasi muda Islam. Melalui propagandanya yang dikemas dengan sangat rapi, mereka berusaha menciptakan keraguan dalam keyakinan ummat Islam. Batasan-batasan aqidah Islamiyah yang sedari awal telah begitu jelas dan nyata, antara yang hitam dan putih, antara yang haq dan batil, antara keimanan dan kekufuran, direduksi oleh mereka menjadi abu-abu dan remeng-remeng (tidak jelas).
Salah satu hal yang status hukumnya dibuat mereka menjadi kabur dan remeng-remeng bahkan dirubah total adalah masalah seputar natalan dan mengucapkan selamat natal kepada orang-orang Kristen.
Mengucapkan selamat natal itu sebenarnya punya makna yang mendalam dari sekadar basa-basi antar agama. Karena setiap upacara dan perayaan tiap agama memiliki nilai sakral dan berkaitan dengan kepercayaan dan akidah masing-masing. Oleh sebab itu masalah mengucapkan selamat kepada penganut agama lain tidak sesedarhana yang dibayangkan. Sama tidak sederhananya bila seorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Betapa dua kalimat Syahadat itu memiliki makna yang sangat mendalam dan konsekuensi hukum yang tidak sederhana. Termasuk hingga masalah warisan, hubungan suami istri, status anak dan seterusnya. Padahal hanya dua penggal kalimat yang siapa pun mudah mengucapkannya.
Demikian pula pengucapan tahni`ah (ucapan selamat) natal kepada Nashrani juga memiliki implikasi hukum yang tidak sederhana. Memang benar bahwa kaum muslimin menghormati dan menghargai kepercayaan agama lain bahkan melindungi mereka yang zimmi. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah manakah batasan hormat dan ridha dalam masalah ini. Antara hormat dan ridha jelas tidak sama. Ridha adalah suatu hal dan ridha adalah yang lain.
Kita memang harus menghormati Nasrani karena memang hal itu merupakan kewajiban. Hak-hak mereka kita penuhi karena
itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali dikaburkan.
itu kewajiban. Tapi memberi ucapan selamat, ini mempunyai makna ridha, artinya kita rela dan mengakui apa yang mereka yakini. Ini sudah jelas masuk masalah akidah. Dan inilah yang namanya batasan yang jelas yang tidak boleh sekali-kali dikaburkan.
Bila kita tidak mengucapkan selamat natal bukan berarti kita tidak ingin adanya persaudaraan dan perdamaian antar penganut agama. Bahkan sebenarnya tidak perlu lagi umat Islam ini diajari tentang toleransi dan kerukunan. Adanya orang Nasrani di Republik ini dan bisa beribadah dengan tenang selama ratusan tahun adalah bukti kongkrit bahwa umat Islam menghormati mereka. Toh mereka bisa hidup tenang tanpa kesulitan. Bandingkan dengan negeri di mana umat Islam menjadi kelompok minoritas. Bagaimana ummat Islam diteror, dipaksa, dipersulit, diganggu dan dianiaya. Dan fakta-fakta itu bukan isapan jempol. Hal itu terjadi dimana pun umat Islam yang minoritas, baik Eropa, Amerika, Australia dan sebagainya.
Walhasil, tidak mengucapkan selamat natal itu justru toleransi dan saling menghormati akidah masing-masing. Dan sebaliknya, saling memberi ucapan selamat justru menginjak-injak akidah masing-masing karena secara sadar kita melecehkan akidah yang kita anut.
Demikian pula halnya dengan doa bersama lintas agama yang akhir-akhir ini juga makin marak. Bahwa toleransi yang ditolelir adalah bentuk toleransi dalam wilayah sosial kemasyarakatan. Berdoa sejatinya bukan masalah sosial, melainkan justru merupakan intisari sebuah ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana sabda Nabi: Rasulullah bersabda, “Doa adalah intisari ibadah.” (HR. Imam Tirmidzi).
Orang yang berdoa kepada Tuhannya, pasti dia meyakini bahwa Tuhannya adalah yang haq dan yang bisa mengabulkan permintaannya. Jadi, jika dalam forum doa bersama itu seorang Nasrani berdoa menurut keyakinannya dan orang Islam meng-amininya itu sama halnya orang Islam tersebut telah meyakini kepercayaan orang Nasrani, begitu juga sebaliknya. Wallahu a’lam bish showab
0 komentar:
Post a Comment