MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Agama Islam
Dosen
Pengampu: Lilik Musfirotun S. Ag
Di
susun oleh:
Istiqomah
(D11.2013.01664)
Malinda Isnaini Khoirunnisa’ (D11.2013.01665)
Achmad Agus Pranoto (D11.2013.01666)
Nurul Hikmah
(D11.2103.01667)
FAKULTAS
KESEHATAN
UNIVERSITAS
DIAN NUSWANTORO
SEMARANG
2013/
2014
KATA
PENGANTAR
Alkhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah
Subhanahu wata?ala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Hukum Pernikahan diwaktu Hamil Dengan Lelaki Yang Tidak
Menghamilinya”.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,, oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi
kita semua.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup
suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga
merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan dan
peradapan manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesenambungan perkawinan
dari setiap generasi manusia. Karena itu Rasulullah saw menganjurkan kepada
umatnya yang telah mampu untuk menikah :
“Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap
sunnahku, maka mereka bukan termasuk umatku”(HR. Bukhari Muslim)
Perkawinan telah di atur secara jelas oleh ketentuan –
ketentuan hukum Islam yang digali dan sumber-sumbernya baik dari Alquran, As
sunnah dan hasil ijtigad para ulama.
Bagi seorang gadis tentu tidak akan hamil tanpa didahului
dengan perkawinan yang dengan seorang laki-laki. Namun yang menjadi persoalan
ketika terjadi kecelakaan atau seorang wanita hamil yang terjadi di luar
perkawinan yang sah. Ini bisa dikatakan sebagai perzinaan yang di dalam nash
telah jelas keharamannya. Akibatnya, dengan berbagai pertimbangan, para pihak
mencoba untuk menutup-nitupinya,dengan melangsungkan perkawinan dengan
laki-laki yang menghamilinya, dan seandainya laki-laki tersebut yang lari dari
bertanggung jawab, maka dicari laki-laki lain yang bersedia menikah dengan
perempuan ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi
terhadap wanita yang sedang hamil akibat zina. Dan juga status anak dalam
perkawinan. Tentu yang menjadi pertanyaan tentang persoalan ini menyangkut
kebolehan atau keharaman terjadinya perkawinan terhadap wanita yang hamil di
luar nikah menurut syariat Islam.
Namun adanya ketetapan dari pemerintah mengenai kawin hamil
sering menimbulkan pemahaman yang salah kaprah. Ketetapan tersebut seringkali
dianggap sebagai sebuah legalitas. Masyarakat banyak yang menganggap bahwa
tidak menjadi masalah melakukan hubungan intim di luar nikah, toh pada akhirnya
mereka tetap diperbolehkan menikah meskipun sudah keadaan hamil. Padahal maksud
dari adanya ketetapan tersebut adalah untuk melindungi anak- anak yang tidak
berdosa yang harus menanggung kesalahan orang tuanya.
Maka berangkat dari persoalan ini, maka pemakalah akan
membahas tentang persoalan Perkawinan Wanita Hamil.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah definisi
perkawinan ?
2.
Bagaimana Hukum
Kawin Hamil ?
3. Pendapat
beberapa ulama tentang kawin hamil?
4.
Bagaimana
status anak yang dikandungnya yang akan lahir nanti ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI PERKAWINAN
Perkawinan atau yang dalam bahasa Arab disebut
pernikahan adalah suatu akad yang mengandung diperbolehkannnya wathi’ (hubungan
badan) dengan lafadz nikah atau tazwij atau
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian adalah yang disebutkan
dalam pasal 1 Undang – Undang Perkawinan tahun 1974. (Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia)
Perkawinan disebut sebagai ikatan lahir batin, karena
perkawinan bukanlah hal yang dapat dianggap sebagai permainan. Perkawinan
memiliki tanggungjawab yang amat besar. Didalamnya terdapat perjanjian antara
suami dan istri yang masing – masing memikul kewajiban dan hak yang harus
dijalankan. Substansi yang terkandung didalamnya adalah menaati perintah Alloh
dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan kemashlahatan baik bagi pelaku perkawinan itu
sendiri (suami istri), anak cucu, kerabat maupun masyarakat. Oleh karena itu,
perkawinan bukan hanya kebutuhan internal antara kedua belah pihak, akan tetapi
juga faktor eksternal yang melibatkan banyak pihak.
Sebagai suatu perjanjian yang suci ia mengandung pengertian
adanya kemauan bebas antara kedua pasangan sehingga tidak ada unsure paksaan.
Ia mengikatkan tali perjanjian atas nama Alloh bahwa kedua mempelai bermaksud
membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Hal ini sesuai dengan
firman Alloh dalam surat An Nisa’ ayat 21 :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya : “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
kamu telah bergaul satu sama lain(sebagai suami-istri). Dan
mereka(ustri0istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat(ikatan pernikahan)
dari kamu”. (QS. An-Nisa’:21)
Hal tersebut sebagaimana disebutkan
dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan mitsaqan menurut hukum islam
adalah akad yang sangat kuat atau gholiidan untuk mentaati perintah Alloh dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Oleh karena itu, baik pihak laki – laki atau
pihak perempuan yang mengikatkan perjanjian itu memiliki kebebasan penuh untuk
menyatakan bersedia atau tidak. Perjanjian tersebut dinyatakan dalam ijab qabul
yang harus diucapkan dalam satu majelis.[1][4] Untuk mewujudkan cita – cita
tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar dalam ajaran – ajaran Al Qur
an dan As Sunnah, namun juga berkaitan dengan hukum suatu negara. Sehingga
perkawinan baru dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai hukum Alloh, hukum Negara.
B.
PERKAWINAN DALAM KEADAAN WANITA SEDANG HAMIL
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan yang disyari’atkan
Islam untuk mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom
sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Islam telah mengatur
masalah perkawinan dengan sangat rinci, dan itu ditunjukkan dalam syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Meskipun demikian, lembaga
perkawinan tetap menghadapi tantangan, bahkan bisa terancam eksistensinya
ketika dihadapkan pada problem sosial tentang masalah kehamilan yang terjadi di
luar nikah. Problem ini menjadi semakin bertambah rumit ketika dalam kehidupan
sosial dewasa ini ternyata kasus ini banyak terjadi di kalangan masyarakat.
Kasus ini tidak hanya menyangkut perbuatan zina dari para pelaku dan hukuman
hudud atas perbuatannya, melainkan juga menyangkut status dan nasib hidup bayi
yang ada dalam kandungannya. Apabila di prosentase, kemungkinan lebih banyak
orang yang menikah karena masalah hamil di luar nikah dibandingkan dengan
pernikahan yang normal.
Kawin hamil
sendiri adalah perkawinan yang dilaksanakan karena mempelai wanita pada saat
melangsungkan perkawinan tersebut dalam keadaan hamil.
Bahwasannya
nikah hamil disini ialah nikah dengan seorang yang hamil karena ditinggal
suaminya atau dicerai dan menikahi
seorang wanita yang hamil diluar nikah, baik yang menikahi laki-laki yang
menghamili maupun bukan laki-laki yang menghamili.
Perempuan yang dinikahi dalam
keadaan hamil ada dua macam:
- Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
- Perempuan yang hamil karena melakukan zina, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini -wal ‘ iyadzu billah , mudah-mudahan Allah menjaga kita dan seluruh kaum muslimin dari dosa terkutuk ini.
Adapun
perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya baik
dicerai atau meininggal dunia, maka wanita tersebut tidak boleh dinikahi sampai lepas ‘iddah
nya, sebagaimana dalam firman Allah dalam surat
At-Thalaq ayat 4 :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“ Perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi(menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya)
maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu(pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai
mereka melahirkan kandunganya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia menjaadikan kemudahan baginya dalam urusannya ”.(QS. Ath-Thalaq: 4)
Hukum menikah dengan perempuan hamil
seperti ini adalah haram, dan nikahnya batil, tidak sah, sebagaimana dalam
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 235 :
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا
تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
”Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma´ruf. Dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ´iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS.
Al-Baqarah: 235 )
Berkata Ibnu Katsir, dalam Tafsir
-nya, tentang makna ayat ini, “ Yaitu, jangan kalian melakukan akad nikah
sampai lepas ‘ iddahnya. ” Kemudian beliau berkata, “ Dan para ulama telah
bersepakat bahwa akad tidaklah sah pada masa ‘ iddah. ”
Adapun perempuan yang hamil karena zina, kami perlu merinci
lebih meluas, karena pentingnya perkara ini dan banyaknya kasus yang terjadi di
seputarnya.
Tentang perempuan yang telah berzina
dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan dengannya,
terdapat persilangan pendapat di kalangan ulama.
Para pakar hukum Islam dan
Ahli Hukum Fiqih berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Syafi’i, Hanafi,
Maliki, dan Hambali membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil
karena zina, asalkan yang mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab
hamil yang seperti ini tidak menyebabkan haramnya dikawini. Kebolehan wanita
yang sedang hamil dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, oleh para Ulama
didasarkan kepada alasan bahwa keduanya adalah pezina. Al-Qur’an sutat an-Nur
ayat 3 menegaskan
اَلزَّانِي
لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا
إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki
musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin”.(QS. An-Nur:3)
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
yang dinyatakan berlakunya dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 sebagai
pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama juga membicarakan perkawinan
perempuan hamil karena zina dan dinyatakan boleh. Pasal yang menyatakan
kebolehan mengawini perempuan hamil itu, secara langsung juga tidak dijelaskan
status anak yang lahir dari perempuan yang dulunya sudah hamil. Namun Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dalam pasal lain menjelaskan status anak. Dalam pasal
itu dinyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir dalam atau akibat dari
suatu perkawinan yang sah.
Dalam hukum yang berlaku di
Indonesia, masalah nikah hamil dijumpai dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53
menyebutkan:
1) Seorang wanita hamil
di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2) Perkawinan dengan
wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kompilasi Hukum Islam nampaknya
hanya mengatur perkawinan wanita hamil di luar nikah. Tidak mengatur perkawinan
wanita hamil yang legal dari suami yang nikah secara sah, yang kemudian cerai
atau meninggal sesuai dengan An-Nuur: 3. Abdur Rahman Ba’alawy mengatakan: “Boleh menikahi wanita yang hamil dari zina
baik dengan laki-laki yang menghamilinya atau bukan dan menggaulinya di waktu
hamil disertai hukum makruh”.
Ketentuan pada pasal 53 di atas
sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 3 yang
dikutip di atas, bahwa pezina perempuan tidak layak dikawinkan kecuali dengan
pezina laki-laki, dan hal itu diharamkan terhadap oang-orang yang beriman. Dari adanya perbedaan pendapat dalam masalah
tersebut maka pendapat yang berkembang sekitar status hukum mengawini perempuan
hamil karena zina adalah sebagai berikut;
1) Abu Hanifah dan
muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini perempuan hamil karena zina
hukumnya adalah boleh; namun si suami tidak boleh menghamili istrinya itu
sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya.
Dasar kebolehannya adalah
karena tidak adanya dalil yang menyatakan keharamannya, sedangkan dasar tidak
bolehnya menghamili perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah
air (sperma) di tanam di (rahim) orang lain yang dilarang berdasarkan hadits
Nabi saw yaitu: “Menumpahkan air di tanaman orang lain dan larangan menyetubuhi
perempuan hamil sampai ia melahirkan anaknya”.
2) Abu Yusuf dari murid
dan pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak boleh menikahi perempuan hamil
karena zina dan perkawinan yang dilangsungkan adalah fasid. Pengarang
Syarah Fath al-Qadir mengutip fatwa Thahiriyah mengatakan bahwa beda
pendapat di kalangan sesama Hanafiyah itu adalah
bila yang mengawini perempuan
zina itu adalah orang lain dan bukan laki-laki yang menyebabkannya hamil;
sedangkan bila yang mengawini perempuan itu adalah laki-laki yang
menghamilinya, maka kelompok ini sepakat menetapkan hukumnya boleh.
3) Imam Malik
berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti
itu adalah batal. Alasannya adalah
bahwa perempuan tersebut harus
menjalani masa iddah, namun tidak dengan melahirkan tetapi dengan 3 kali suci
sesudah melahirkan; karena iddah melahirkan itu adalah bila yang dilahirkan
dinisbahkan kepada ayahnya sedangkan anak zina tidak dinisbatkan kepada
laki-laki yang menghamilinya.
4) Imam Syafi’i
berpendapat bahwa menikahi perempua hamil karena zina adalah hukumnya boleh dan
boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasannya ialah
bahwa perbuatan zina itu tidak
menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Seperti dalam Hadits Aisyah r.a.
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesuatu yang
haram tidak mengharamkan sesuatu yang halal”.
Kehamilan yang tidak diketahui
nasabnya itu ditanggungkan kepada perbuatan zina yang mendahuluinya. Adanya
kewajiban iddah atas perempuan hamil dengan melahirkan, bila anak yang lahir
dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkannya lahir. Anak yang
dikandunng karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi
ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut.
Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.
5) Ahmad Ibnu Hanbal
berpendapat bahwa perempuan hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu
melahirkan anak; oleh karena itu tidak boleh dinikahi sebelum anaknya
lahir.
Dengan berpegang pada larangan Nabi “menumpahkan air
di tanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi perempuan hamil sampai ia melahirkan
anaknya.
Secara global, para ulama berbeda pendapat dalam pensyaratan
dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat pertama , bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Dalam pensyaratan taubat, ada dua
pendapat di kalangan ulama:
- Disyaratkan bertaubat. Ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan pendapat Qatadah, Ishaq, dan Abu ‘ Ubaid.
- Tidak disyaratkan bertaubat. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi ’ iy, dan Abu Hanifah.
Tarjih
Yang benar dalam masalah ini adalah
pendapat pertama yang mengatakan disyaratkan untuk bertaubat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Al-Fatawa 32/109, “ Menikahi perempuan pezina adalah haram
sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau
selainnya. Inilah (pendapat) yang benar tanpa keraguan. ”
Tarjih di atas berdasarkan firman
Allah dalam surat An-Nuur ayat 3 :
الزَّاني لا يَنْكِحُ إِلاَّ زانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَ الزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُها إِلاَّ زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَ حُرِّمَ
ذلِكَ عَلَى الْمُؤْمِن
“Pezina laki-laki tidak boleh
menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan
pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau
dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
yang mukmin”.(QS. An-Nur:3)
Lalu, dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib
dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh, beliau berkata,
أَنَّ
مَرْثَدَ
بْنَ أَبِيْ مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَحْمِلُ
الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ
وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ : فَجِئْتُ
إِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا ؟ قَالَ : فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ :
((وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ)) فَدَعَانِيْ
فَقَرَأَهَا عَلَيَّ. وَقَالَ : لاَ تَنْكِحْهَا
“ Sesungguhnya Martsad bin Abi
Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Makkah, dan di Makkah ada
seorang perempuan pelacur disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia adalah teman
(Martsad). (Martsad) berkata, ‘ Maka saya datang kepada Nabi shallallahu ‘
alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam lalu saya berkata, ‘ Ya Rasulullah, (apakah)
saya (boleh) menikahi ‘ Anaq? ’.’ Martsad berkata, ‘ Maka beliau diam, lalu
turunlah (ayat), ‘ Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik .’ Kemudian beliau memanggilku
lalu membacakannya padaku dan beliau berkata, ‘ Jangan kamu menikahi dia .’ . ” (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051, At-Tirmidzy no.
3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180,
Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745, dan disebutkan
oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahih Al-Musnad Min
Asbabin Nuzul )
Ayat dan hadits ini tegas
menunjukkan haram menikah dengan perempuan pezina. Namun, hukum haram tersebut
berlaku bila ia belum bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram menikah dengan perempuan pezina tersebut, berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“ Orang yang bertaubat dari dosa
seperti orang yang tidak ada dosa baginya. ”
(Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’ifah 2/83 dari
seluruh jalan-jalannya)
Adapun para ulama yang mengatakan
bahwa kata nikah dalam ayat 3 surah An-Nur ini bermakna jima ’ ,
atau yang mengatakan bahwa ayat ini mansukh ‘ terhapus hukumnya ’,
adalah pendapat yang jauh dari kebenaran, dan pendapat ini (yaitu yang
mengatakan bermakna jima’ atau mansukh) telah dibantah secara tuntas
oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 32/112-116. Pendapat yang mengatakan
haram menikah dengan perempuan pezina sebelum bertaubat juga.
Sebagian ulama berpendapat bahwa
perlu diketahui kesungguhan taubat perempuan yang berzina ini dengan cara
dirayu untuk berzina. Kalau ia menolak, berarti taubatnya telah baik. Pendapat
ini disebutkan oleh Al-Mardawy dalam Al-Inshaf 8/133, diriwayatkan dari
‘Umar dan Ibnu ‘Abbas, dan merupakan pendapat Imam Ahmad. Ibnu Taimiyah, dalam Al-Fatawa
32/125, kelihatan condong ke pendapat ini.
Tetapi Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughny
9/564, berpendapat lain. Beliau berkata, “ Tidak pantas bagi seorang
muslim mengajak perempuan untuk berzina dan memintanya. Karena permintaannya
ini (dilakukan) pada saat ber-khalwat ‘berduaan’ padahal tidak halal
ber-khalwat dengan Ajnabiyah ‘perempuan bukan mahram’ walaupun
untuk mengajarinya (Ajnabiyah) Al-Qur`an, maka bagaimana (bisa) hal
tersebut dihalalkan dalam merayunya (Ajnabiyah) untuk berzina? ”
Maka yang benar adalah ia bertaubat
atas perbuatan zinanya, sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar
yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat:
- Ikhlas karena Allah.
- Menyesali perbuatannya.
- Meninggalkan dosa tersebut.
- Ber-‘azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
- Pada waktu yang masih bisa bertaubat seperti sebelum matahari terbit dari Barat dan sebelum ruh sampai ke tenggorokan.
Syarat Kedua , telah lepas ‘iddah.
Para ulama berbeda pendapat apakah
lepas ‘iddah, apakah merupakan syarat bolehnya menikahi perempuan yang berzina
atau tidak, ada dua pendapat:
Pertama , wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry,
An-Nakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan
Ishaq bin Rahawaih.
Kedua , tidak wajib ‘iddah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’iy dan
Abu Hanifah, tapi ada perbedaan antara mereka berdua pada satu hal, yaitu
menurut Imam Syafi’iy boleh untuk melakukan akad nikah dengan perempuan yang
berzina dan boleh ber-jima’ dengannya setelah akad, apakah orang yang
menikahinya itu adalah orang yang menzinahinya itu sendiri atau selainnya.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat boleh melakukan akad nikah dengannya dan
boleh ber-jima’ dengannya, apabila yang menikahinya adalah orang yang
menzinahinya itu sendiri. Tapi kalau yang menikahinya selain orang yang
menzinahinya maka boleh melakukan akad nikah tapi tidak boleh ber- jima’ sampai
istibra` (telah nampak kosongnya rahim dari janin) dengan satu kali haid
atau sampai melahirkan kalau perempuan tersebut dalam keadaan hamil.
Tarjih yang benar dalam masalah ini
adalah pendapat pertama yang wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Dalil pertama , hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda
tentang tawanan perang Authas,
لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعُ وَلاَ غَيْرُ حَامِلٍ
حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةً
“ Jangan dipergauli perempuan hamil
sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid
satu kali. ” (diriwayatkan olehAhmad 3/62,87,
Abu Daud no. 2157, Ad-Darimy 2/224, Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449,
Ath-Thabarany dalam Al-Ausath no. 1973,dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no. 307. Di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syarik bin ‘Abdullah
An-Nakha’iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek, tetapi hadits ini
mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shahabat sehingga
dishahihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa`
no. 187)
Dalil kedua , hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam , beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ
يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“ Siapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain. ” (diriwayatkan olehAhmad 4/108,Abu Daud no. 2158,At-Tirmidzy
no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qani’ dalam Mu’jam Ash-Shahabah 1/217,
Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat 2/114-115, dan Ath-Thabarany 5/no. 4482.
Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137)
Dalil ketiga , hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslimdari Nabi shallallahu
‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam ,
أَنَّهُ
أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ
يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ
قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ
وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.
“ Beliau mendatangi seorang
perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda, ‘ Barangkali
orang itu ingin menggaulinya? ’ ( Para sahabat) menjawab, ‘ Benar. ’ Maka
Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa ‘ ala alihi wa sallam bersabda, ‘ Sungguh
saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya.
Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia
memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya ’ . ”
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah,
“ Dalam (hadits) ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi
perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang
budak-pent.), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi
karena tidak tahu atau karena ada kesamar-samaran-pent.) atau karena zina. ”
Nampaklah dari sini kuatnya pendapat
yang mengatakan wajib ‘iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah
(Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Wallahu A’lam.
Nampak dari dalil-dalil yang
disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi
sampai melahirkan, maka ini ‘iddah bagi perempuan yang hamil karena zina.
Adapun perempuan yang berzina dan
belum nampak hamilnya, ‘iddahnya diperselisihkan oleh para ulama yang
mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para ulama mengatakan
bahwa iddahnya adalah istibra` dengan satu kali haid, sedangkan ulama
yang lainnya berpendapat bahwa tiga kali haid yaitu sama dengan ‘iddah
perempuan yang ditalak.
Namun, yang dikuatkan oleh Imam
Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat, adalah cukup dengan istibra` dengan
satu kali haid. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan
hadits Abu Sa’id Al-Khudry di atas. Adapun ‘iddah dengan tiga kali haid hanya
disebutkan dalam Al-Qur`an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh
suaminya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“ Dan para istri yang diceraikan
(wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’(haid). Tidak boleh bagi
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali
kepada mereka dalam (masa) itu, jika merekan menghendaki perbaikan. Dan mereka
(para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
patut. Tetapi para suami, mempunyai kelebihan diatas mereka. Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana”. (QS. Al-Baqarah:228)
C.
STATUS ANAK
Yang dimaksud dengan “nasab” dalam
bahasan ini adalah “hubungan kekerabatan secara hukum”. Kata ini diganti dari
pengertian “anak sah” yang tidak terdapat dalam literatur hukum Islam atau
Fiqih. Fiqih tidak mengenal istilah “anak sah” karena bagaimana juga ia
adalah karunia dan titipan dari Allah SWT. Menurut pandangan Islam anak yang
lahir dari rahim seorang perempuan mempunyai hubungan nasab dengan perempuan
yang mengandung dan melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana
perempuan itu hamil, baik dalam perkawinan atau perzinaaan.
Bahasa “nasab” dianggap penting dalam Islam karena padanya
terletak beberapa hubungan hukum, diantaranya hak warisan, hak kewalian; oleh
karena itu nasab seorang anak perlu dijelaskan secara pasti. Kalau nasab anak
kepada ibunya bersifat alamiah, maka anak kepada ayah adalah hubungan hukum;
yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya dalam hal ini adalah perkawinan.
Bagaimana
kedudukan bayi yang dilahirkan dari kehamilan yang dihamili orang lain. Islam secara
tegas telah menyatakan tenang larangan mendekati zina. Larangan tersebut
diberlakukan karena efek dari zina adalah mengarah pada pengkaburan keturunan.
Termasuk dalam kategori jalan pengkaburan tersebut adalah pengabsahan anak
melalui nikah hamil. Hal ini karena tidak semua yang menikahi wanita itu adalah
laki – laki yang menghamilinya. Kalaupun yang menikahi itu adalah yang
menghamilinya, namun konsepsi janin itu terjadi sebelum pernikahannya, sehingga
anak tersebut tetap dianggap anak zina.
Dalam konsep Islam, definisi anak sah itu
didasarkan pada saat terjadinya konsepsi janin dalam rahim ibunya. Konsepsi
tersebut terjadi setelah pernikahan ayah dan ibunya . Dengan Masa awal
kehamilan yang ditandai oleh pertemuan sel telur dengan sperma yang akan
membentuk janin di dalam rahim seorang
wanita.
Demikian dapat dipahami bahwa anak sah adalah
anak yang lahir sebagai akibat dari adanya pernikahan.
Para ulama memberikan
batasan kelahiran minimal 6 bulan setelah pernikahan. Hal ini merujuk pada dua
ayat al quran :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ
لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.(QS. Luqman :
14)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ
أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي
أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ
وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
“ Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat
baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai manyapihnya
selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia(anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia
berdo’a, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu
yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku
dapat berbuat kabajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan
mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan
sungguh, aku termasuk orang muslim”. (QS.Al-Ahqaf:15)
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan”,.(Al Ahqaaf : 15)
Definisi tersebut secara otomatis mengecualikan
bahwa semua anak yang lahir diluar pernikahan adalah anak tidak sah (anak
zina). Termasuk dalam pengertian ini adalah anak yang dilahirkan dalam
pernikahan, namun konsepsi janin terjadi sebelum pernikahan.
Konsep Islam ini berbeda dengan konsep yang
ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Islam dan Undang – Undang Perkawinan. Dalam KHI
pasal 99 disebutkan anak yang sah adalah:
a. Anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan
suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Rumusan
tersebut senada dengan rumusan Undang – Undang Perkawinan pasal 42 yang
menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Dari kedua rumusan senada tersebut dapat ditarik
pengertian bahwa anak sah adalah anak yang lahir “dalam perkawinan” dan anak
yang lahir sebagai “akibat perkawinan”.
Pengertian
pertama (dalam perkawinan) memberikan implikasi bahwa semua anak yang lahir
dalam perkawinan, baik proses terjadinya konsepsi janin itu sebelum atau
setelah pernikahan dianggap sebagai anak yang sah. Dengan demikian, anak yang
dilahirkan dari perbuatan zina dapat dianggap sebagai anak sah apabila
kelahirannya terjadi dalam sebuah pernikahan.
Sedangkan
pengertian yang kedua (sebagai akibat perkawinan) memberikan pengertian bahwa
anak yang sah adalah anak yang memang benar – benar dibenihkan oleh ayah dan
ibunya dalam ikatan pernikahan. Anak yang menjadi akibat dari perkawinan adalah
anak yang sejak awal konsepsinya sebagai janin dalam kandungan ibunya terjadi
setelah ayah dan ibunya terikat pernikahan. Kelahiran anak yang merupakan
akibat perkawinan tidak hanya terjadi dalam perkawinan saja, tapi boleh jadi
kelahiran itu terjadi setelah adanya pernikahan. Maksud dari pernyataan kelahiran setelah
pernikahan adalah kelahiran yang terjadi pada saat ayah dan ibunya sudah tidak
terikat pernikahan. Hal tersebut dikarenakan perceraian keduanya atau ayahnya
meninggal namun konsepsi janin terjadi dalam pernikahan tersebut. Konsep ini
sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Islam.
Dalam ajaran Islam, anak sah itu memiliki
hubungan keperdataan dengan orang tuanya, baik ayah maupun ibunya. Hubungan
tersebut berlanjut sampai kakek atau nenek dari kedua orangtuanya dalam garis
lurus ke atas. Akan tetapi bagi anak zina (anak luar nikah) hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu
dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan rumusan KHI pasal 100 dan UUP pasal
43
III. KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya perkawinan
sebagaimana yang di sebutkan dalam UUP adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan wanita untuk membentuk sebuah keluarga yang tentram berdasarkan aturan
agama dan negara.
Fenomena yang terjadi saat ini yakni
terjadinya pernikahan pasca kehamilan menimbulkan banyak pendapat dikalangan
ulama fiqh.
Adapun perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya baik dicerai atau meininggal dunia, boleh dinikahi setelah lepas ‘iddah nya. Membolehkan kawin dengan perempuan yang sedang hamil karena
zina, asalkan yang mengawininya itu laki-laki yang menghamilinya, sebab tidak
menyebabkan haramnya dikawini. Kebolehan wanita yang sedang hamil dinikahi oleh
laki-laki yang menghamilinya, oleh para Ulama didasarkan kepada alasan bahwa
keduanya adalah pezina sedang kedudukan bayi yang dilahirkan dari kehamilan
yang dihamili orang lain. Para Ulama’ sepakat menetapkan bahwa status anak
tersebut adalah anak zina, dan nasabnya dihubungkan dengan ibunya.
Namun Indonesia sebagai negara hukum
mengatur masalah – masalah yang berkaitan dengan perkawinan dalam formulasi
hukum tersendiri, termasuk di dalamnya masalah kawin hamil dalam UUP dan KHI.
Terjadinya perkawinan setelah terjadi kehamilan memberikan dampak terhadap
pemberian status kepada anak yang dilahirkan, karena keputusan KHI dan UUP
menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah
ini kami buat, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan dan
memang itu adalah keterbatasan kami dan tidak ada manusia yang sempurna, hanya
Dia-lah Yang Maha Sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun selalu kami nantikan demi perbaikan
makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at, bagi penulis khususnya
serta bagi para pembaca pada umumnya. Aamin ya Robb al ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Rahman Ghozali, M. (2010). Fiqh Munakahat
Seri Buku Daras. Jakarta: Prenada Media Group.
2. Al Quran dan
Terjemahannya. (2004). Bandung:
Diponegoro.
3. Ali, H. Z. (2006).
Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
4. Idris, S. A. Al
Yaqut An Nafis Fi Madzhabi Ibni Idris. Surabaya: Al Hidayah.
5. M. Afnan Chafidh,
A. M. (2006). Tradisi Islami. Surabaya: Khalista.
6. Maslani, M. H.
(2010). Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Bandung: Sega Arsy.
7. Rahman, M. (2003).
Anak Luar Nikah Status dan Impilkasi Hukumnya. Jakarta: Atmaja.
8. Syarifuddin, P. D.
(2010). Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group.
9. Tihami, M. S.
(2009). Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali
Pers.
10. Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia. Surabaya:
Arkola.